Senin, 26 Desember 2016

Hot News KHR. As�ad Syamsul Arifin, Sesepuh NU Generasi Pertama Penentang Paham Liberal Yang Dibawa GD Dalam Tubuh NUBerita Aktual

KHR. As�ad Syamsul Arifin, Sesepuh NU Generasi Pertama Penentang Paham Liberal Yang Dibawa GD Dalam Tubuh NU

KHR. As�ad Syamsul Arifin, Sesepuh NU Generasi Pertama Penentang Paham Liberal Yang Dibawa GD Dalam Tubuh NU

Oleh: NU Garis Lurus

Pada mukamar NU ke-28 di Krapyak, Yogyakarta saat itulah awal muncul pergolakan dalam tubuh NU karena paham liberal sesat yang dibawa GD dalam tubuh NU. Saat itu mediator berdirinya salah satu ormas terbesar di Indonesia yaitu Nahdlatul Ulama (NU) dan juga pendiri Pondok Pesantren Salafiyah Syafi�iyah Sukorejo, Situbondo, Jawa timur, yang dikenal dengan jumlah ribuan santrinya yaitu KHR. As�ad Syamsul Arifin dengan jantan menyatakan "Mufaroqoh" terhadap GD. Menurut pandangan Beliau, Ibarat imam salat, Gus Dur di mata Kiai As�ad sudah batal kentut. Karena itu, tak perlu bermakmum kepadanya, mufaraqah.

Beliau adalah KH. R. As�ad Syamsul Arifin. Lahir di Syiib Ali, sebuah perkampungan dekat Masjidil Haram, Mekkah, pada 1897 dari pasangan Raden Ibrahim dan Siti Maimunah. Bayi laki-laki itu diberi nama Raden As�ad yang berarti �sangat bahagia�. Betapa tidak? Pada puncak pencapaian kematangan menuntut ilmu selama dua puluh lima tahun di Mekkah, Raden Ibrahim mendapat karunia seorang anak laki-laki.

Raden Ibrahim, ayahnda Raden As�ad �yang kemudian lebih dikenal sebagai Kiai Syamsul Arifin�masih keturunan Sunan Ampel. Sedangkan ibunya merupakan titisan darah bangsawan dari Tumenggung Tirtonegoro atau Bendara Saud, salah seorang Bupati Sumenep, dan masih keturunan Pengeran Ketandur, cucu Sunan Kudus.

Ketika berumur 6 tahun, Raden As�ad diajak orang tuanya pulang kampung ke PP Kembang Kuning, Pamekasan. Di PP ini Kiai Syamsul membantu abahnya, Kiai Ruham, mengajar para santri. Tidak berapa lama, Siti Maimunah, ibunda Raden As�ad meninggal dunia.

Menginjak usia 11 tahun, Raden As�ad diajak ayahnya menyeberangi laut untuk menyebarkan Islam ke tempat lain. Mereka lalu membabat hutan di sebelah timur Asembagus dan sebelah barat hutan Baluran. Daerah itu terkenal angker. Dulu tidak ada orang, kecuali harimau dan ular berbisa. Di bekas hutan itu, mereka membangun permukiman yang kemudian menjadi Desa Sukorejo. Mereka juga membangun mushala yang menjadi cikal-bakal pesantren Sukorejo saat ini.

Pada masa mudanya inilah KH. R. As�ad muda menghabiskan masa lajangnya di berbagai PP. Beberapa PP yang beliau pernah menimba ilmu antara lain: PP Demangan Bangkalan asuhan KH. Cholil, PP Panji, Buduran di bawah asuhan KH. Khozin, PP Tetango Sampang, PP Sidogiri Pasuruan di bawah bimbingan KH. Nawawi, PP Banyuanyar Madura di bawah asuhan KH. Abdul Majid dan KH. Abdul Hamid, dan terakhir di PP Tebu Ireng Jombang bersama KH. Hasyim Asy�ari.

Setelah malang melintang di berbagai pesantren beliau melanjutkan studinya ke Mekkah al-Mukarramah dan berguru kepada ulama�-ulama besar, seperti Sayyid Muhammad Amin Al-Qutby, Syekh Hasan Al-Massad, Sayyid Hasan Al-Yamani, Syekh Abbas Al-Maliki, serta beberapa ulama besar lainnya.

Ketika berangkat mondok, Raden As�ad hanya menggunakan keranjang sebagai tempat pakaian dan bahan makanan. Pernah suatu saat, ayahndanya membelikan koper dan mengutus santri untuk menyerahkan kepada Raden As�ad. Tetapi, ia menolak. Ia lebih senang hidup sederhana. Selama mondok pun, ia hidup mandiri. Ia tak mau merepotkan orang tuanya, karena itu mereka tak pernah mengiriminya. Kadang-kadang Raden As�ad mondok sambil berjualan tikar.

Raden As�ad selama mondok selalu dekat dengan sang Kiai pondok tersebut. Semua Kiai mempunyai keistimewaan tersendiri. Tetapi beliau sangat terkesan pada dua sosok Kiai, yakni Kiai Cholil Bangkalan dan Kiai Hasyim Asy�ari Tebu Ireng Jombang. Kenang beliau, �Saya mendapat barakah dari dua Kiai besar ini. Saya merasa benar-benar jatuh cinta pada kedua Kiai ini. Karena itu, semangat saya untuk menyerap pelajaran dari Kiai ini, masyaAllah, besar sekali!�

Maka tak heran jika Raden As�ad tidak akan berhenti menuntut ilmu pada seorang Kiai sebelum pernah mencicipi �madunya� ilmu kiai itu. Dan ketika liburan pun, bukan berarti beliau libur mengaji. Abahnya akan selalu memberi tugas. Misalnya menghapal Nazham Alfiyyah, yang berhasil dikhatamkannya dalam 40 hari, juga Nazham Imrithi yang berhasil hapal luar kepala dalam 21 hari. Juga kitab-kitab yang lain.

Kiai Syamsul mengharapkan anaknya tidak berlebih-lebihan dalam mengerjakan sesuatu, termasuk dalam hal belajar. Seorang santri harus memperhatikan kondisi jasmaniahnya, agar ia tetap sehat dan nyaman ketika belajar dan beribadah. Pesan abahnya, �Lapar, ngakan! Ketondu, tedung! Jek sampek lapar karna lapar meposang dek pekeran! (Lapar, makanlah! Ngantuk, tidurlah! Jangan sampai kelaparan, karena lapar membuat linglung berpikir!)�

Selepas wafatnya Kiai Syamsul Arifin pada 1951, Raden As�ad diamanahi untuk memimpin pondok pesantren Sukorejo tersebut.

Kiai As�ad dan NU

Belum lengkap rasanya cerita NU tanpa peranan ulama besar ini. Kiai As�ad adalah sosok kiai yang dari awal telah menganut paham-paham ahl al-sunnah wa al-jama�ah dan selalu menghiasi kehidupan dalam kesehariannya dengan budaya-budaya ke-NU-an.

Saat menjadi santri KH. Cholil bangkalan, Kiai As�ad muda menjadi santri kesayangan gurunya sehingga pada masa di mana terjadi peralihan Perkumpulan Ulama dalam � Komite Hijaz � menjadi �jam�iyah�, Kiai As�ad muda menjadi satu-satunya mediator dalam penyampaian isyarah KH. Cholil kepada KH. Hasyim Asy�ari, Jombang. Beliau diutus oleh Kiai Cholil pada tahun 1924 untuk menyampaikan satu tongkat disertai Surat Thaha ayat 17 s.d. 23 serta pada tahun 1925 beliau kembali diutus menyampaikan hasil istikharah gurunya kepada KH. Hasyim As�ari. Ketika itu, beliau kembali ke Jombang dengan seuntai tasbih dan bacaan �Ya Jabbar, Ya Qahhar 3x�.

Pada tahun 1945, ketika Laskar Hisbullah dibentuk, Kiai As�ad langsung bergabung dan memimpin pasukan bergerilya di daerah Besuki dan sekitarnya. Uniknya, pasukan yang beliau pimpin adalah bara mantan bajingan. Mereka dihimpun dalam Barisan Pelopor yang kemudian mengambil peran dalam perjuangan kemerdekaan dan penumpasan PKI di Situbondo 1965.

Setelah pemilu 1955, Kiai As�ad menjadi anggota Konstituante sampai tahun 1959. Setelah lembaga itu dibubarkan oleh Bung Karno, beliau tidak banyak beraktivitas di bidang politik. Pada tahun 1971, Kiai As�ad menjadi DPRD Kabupaten Situbondo dan pada tahun 1977 beliau mendukung PPP, karena NU saat itu mendukung PPP.

Selain itu, Kiai As�ad merupakan salah satu di antara sekian ulama yang selalu menjembati persoalan-persoalan yang terjadi antara pemerintah dan umat Islam, khususnya warga NU. Sikapnya yang tegas dan tangkas serta bijaksana membuat beliau mampu memainkan perannya sebagai ulama� NU (pengayom masyarakat) sekaligus sebagai politisi yang arif.

Kebijakan-kebijakan kembali dibuktikan pada tahun 1982 mengenai masalah mata pelajaran PMP yang menjadi kontroversi antara umat Islam dan pemerintah. Tanpa banyak bicara beliau langsung menemui presiden Soeharto dan menunjukkan beberapa hal yang mestinya dikoreksi. Tidak berapa lama, dalam tahun itu juga PMP yang menuai kontroversi tersebut direvisi dan disempurnakan oleh pemerintah.

Begitu pula ketika terjadi konflik antara Muslimin Indonesia vs NU dalam tubuh PPP dan rencana pemerintah memberlakukan Pancasila sebagai satu-satunya azas Organisasi Sosial, Politik maupun Kemasyarakatan, tiba-tiba di PP Salafiyah Syafi�iyah Sukorejo berkumpul ratusan Ulama� NU untuk mengadakan Musyawarah Nasional (Munas) yang berlangsung pada tanggal 18-21 Desember 1983. Ketika semua Ormas Islam banyak menolak azas Pancasila, justru Munas menerimanya dan menganggapnya tidak bertentangan dengan aqidah Islam. Munas tersebut juga memutuskan mengembalikan NU ke garis dan landasan asalnya, yang kemudian populer dengan istilah kembali ke Khittah 1926. Inilah sebagian dari peran Kiai As�ad dalam memulihkan keutuhan NU dan umat Islam di negeri ini.

Beliau juga dengan kearifannya pernah melakukan mufaraqah (berpisah) pada saat kepemimpinan NU di bawah Abdurrahman Wahid,(GD), karena dirasakan sebagai ketua telah melenceng, yang beliau ibaratkan sebagai imam shalat yang telah kentut. Peristiwa ini terjadi pada Muktamar NU ke-28 di Krapyak, Yogyakarta.

Kemandirian dan Kesederhanaan Kiai As�ad

Selain sebagai Kiai, ternyata beliau juga seorang wiraswastawan. Hal itulah yang membuat sikapnya mandiri dan independen. Di Situbondo dan Asembagus beliau memiliki tujuh toko yang cukup besar. Di kawasan wisata pantai pasir putih Situbondo, beliau memiliki dua restoran. Begitu pun di pulau dewata Bali. Beliau juga memiliki restoran di Makkah, tempatnya dulu menuntut ilmu. Tidak hanya itu, beliau juga mempunyai rumah berlantai tujuh yang setiap musim haji disewakan untuk penginapan jamaah haji. Belum lagi sawah, tambak, dan perahu, serta aset-aset kekayaan lainnya.
Lalu, untuk kepentingan apakah beliau harus berwiraswasta? Ternyata semua penghasilan beliau digunakan untuk menyejahterakan rakyat kecil. Saat menjadi pemimpin pesantren, beliau mengkavling tanah seluas 20 hektar di sekitar pesantren. Tanah itu kemudian dibagikan kepada masyarakat agar dijadikan sebagai tempat tinggal dengan harga jual yang sangat murah dan hanya beberapa bidang tanah yang digunakan untuk pesantren.
Kalau kamar santri dan bangunan lainnya terbuat dari tembok permanen, tetapi rumah yang beliau tempati hanyalah bangunan semi permanen yang ukurannya kurang lebih 3�6 meter. Rumah yang terletak di antara asrama santri wanita dan santri pria itu tergolong paling jelek di Desa Sukorejo. Di dalamnya hanya ada amben (ranjang)yang telah dimakan usia dan dialasi tikar pandan dalam ruang berlantaikan tanah. Tapi tidak sembarang tamu boleh berkunjung ke rumah itu � sebab yang diterima di sana hanya yang sudah dianggap keluarga. Para pejabat, dari lurah sampai menteri, diterima di rumah yang lebih bagus, milik anaknya. Di rumah si anak tersedia ruang berukuran sekitar 30 m2 yang digelari permadani untuk tamu yang ingin bermalam, atau terpaksa bermalam, menanti giliran menemui Kiai, yang semua gigi atasnya sudah tanggal itu.
Pakaian yang dikenakannya dalam segala situasi pun tetap, yaitu terdiri dari baju putih, sarung palekat putih, kopiah putih, dan sandal selop.

Kiai As�ad dan Pesantren Sukorejo

Pesantren Sukorejo di bawah K.H.R. As�ad Syamsul Arifin berkembang dengan pesat. Terletak di pinggir jalan raya Situbondo Banyuwangi, 7 km sebelah timur Kecamatan Asembagus. Di pintu gerbangnya tertulis bahasa Arab �Ahlan Wa Sahlan� dan bahasa Inggris �Welcome�. Di pondok ini selain dikembangkan pendidikan gaya pesantren, juga ditumbuhkan pendidikan umum, SMP, SMA, dan Universitas Ibrahimy. Santri yang mengaji di pesantren ribuan jumlahnya. Kompleks ini sendiri dijuluki �kota santri�. Apalagi ada lapangan di tengah pondok dan santri setiap saat terlihat main bola dengan memakai sarung.

Di pondok ini ada sebuah masjid yang tidak begitu besar. Tetapi As�ad membangun masjid yang jauh lebih besar di luar kompleks Barangkali dimaksudkan agar para santri lebih menyatu dengan masyarakat sekitarnya.

Dari pernikahan Kiai As�ad dengan Zubaidah, seorang gadis Madura, di tengah gejolak perjuangan (1939), beliau dikaruniai lima orang anak. Si bungsu, satu-satunya lelaki, adalah KH. Ahmad Fawaid. Ketika beliau sudah terbilang sepuh, anak bungsunya itu masih sangat muda. Sehingga hal ini turut memberikan kekhawatiran terhadap keberlangsungan pesantren. Apalagi setelah memegang kepemimpinan pondok, KH. Ahmad Fawaid pun wafat dalam usia yang masih relatif muda (43 tahun) pada 9 Maret 2012. Kini kepemimpinan pondok diserahkan kepada keponakan Kiai As�ad, yakni KH. Azaim. Beliau pernah mondok di beberapa pesantren, termasuk PP Nurul Haromain Pujon di bawah asuhan KH. Ihya� Ulumiddin dan juga di Rusaifah Makkah di bawah asuhan Abuya As-Sayid Muhammad bin Alawi al-Maliki.
Sisi Lain Kiai As�ad

Di sela-sela kesibukannya dengan pesantren, kiai memiliki aktivitas lain yang tak kalah menarik. Beliau rajin memelihara tanaman hias. Beliau juga pernah mempunyai seekor kuda putih, warna kegemarannya. �Nabi Ibrahim kudanya juga putih,� katanya tentang kuda itu. Sayang, kuda itu telah mati dan belum ditemukan kuda putih sebagai pengganti. Beliau pun punya �kuda� lain yang lebih gesit, yaitu sebuah mobil colt. Juga putih warnanya.

Selain rajin mengurusi enam ekor ayam hutannya, kiai ini juga memelihara seekor burung beo yang pintar berbicara. Jika ada tamu yang datang, burung itu memberi salam: assalamu�alaikum. Dan bila sang tamu membalas tegur sapa sang beo, biasanya tamu lantas ketawa, lantaran si beo membalas dengan kata-kata assooiiii� Tapi burung beo itu pun, menurut santri di sana, menyerukan Allahuakbar bila bergema suara azan.
Kiai As�ad juga rajin membaca dan berlangganan enam koran ditambah sebuah majalah mingguan Madura asli.

Karomah KH As�ad Syamsul Arifin

Diantara kisah-kisah mengenai bukti kekaromahan KH As�ad semasa hidupnya pun terkuak dari KH Fawaid.

�Pada zaman dulu, murid-murid beliau itu banyak dari kaum bromocorah (preman,red), sehingga beliau pun banyak mendalami ilmu beladiri,� tutur KH Fawaid memulai cerita.

Ilmu-ilmu beladiri yang dimiliki KH As�ad, sambung KH Fawaid, juga diajarkan kepada para muridnya.

Ia menceritakan, saat santrinya dibekali sebilah pedang serta celurit dan disuruh saling membacok, tapi, tebasan pedang dan celurit itu tidak ada yang mencederai mereka. Sebagian murid yang lain, ada yang diuji melompat dari pohon kelaa yang tinggi dan ternyata badannya tetap utuh serta segar bugar. Yang ajaib adalah saat antara para murid itu mampu menjatuhkan puluhan buah kelapa hanya dengan sekali pandang.

Tidak hanya itu, kemasyhuran kekaromahan KH As�ad juga terbuti pada saat perang kemerdekaan. Kepada Kisah Hikmah, KH fawaid jga mengisahkan jika pada saat perang gerilya, beberapa pejuang tampak membawa pasir. Pasir itu konon adalah pemberian dari KH As�ad kepada para pejuang. Pasir tersebut kemudian ditaburkan ke kacang hijau di dekat markas tentara Belanda atau jalan yang akan banyak dilewati tentara Belanda.

�Aneh, suatu keajaiban terjadi. Puluhan tentara Belanda yang bersenjata lengkap itu tiba-tiba lari terbirit-birit ketakutan sambil meninggalkan senjatanya. Mungkin mereka mengira suara pasir itu adalah suara dentuman senjata api. Para pejuan pun memungut satu persatu senjata yang ditinggal Belanda, � kisah KH Fawaid.

Lebih jauh, KH Fawaid bahkan menceritakan, ada kisah lain yang mengisyaratkan bahwa KH As�ad memang bukanlah ulama sembarangan. Kisah itu terjadi pada saat Kiai Mujib (teman KH As�ad) diajak KH As�ad menghadiri delapan acara walimah haji yang berada di luar kota.

Keduanya pun berangkat dari rumah, sekitar pukul 20.30 WIB. Namun anehnya, Kiai Mujib baru merasakan keajaiban yang dialaminya setelah kembali ke Sukorejo. Dia kaget lantaran delapan lokasi acara walimah haji yang didatangi oleh KH As�ad ternyata hanya ditempuh dalam waktu dua jam.

�Padahal, perjalanan pulang pergi aja memerlukan waktu dua jam, sementara mereka harus mengunjungi delapan kali acara yang tempatnya masing-masing sangat berjauhan. Ini belum lagi dihitung waktu KH As�ad memberi ceramah dan jamuan makan, yang tentu saja memakan waktu tidak sebentar. Ini ajaib. Mana mungkin perjalanan yang seharusnya memakan waktu dua jam plus semua acara yang tempatnya saling berjauhan dan memakan waktu berjam-jam itu, bisa dilakukan hanya dengan dua jam?� ungkap KH Fawaid.

Kiai Mujib pun mengemukakan kebingungannya itu kepada sopir KH As�ad, H Abdul Aziz.
�Iya..ya, kenapa bisa begitu?� katanya sambil berulang kali melihat jam tangannya untuk meyakinkan diri bahwa saat itu memang baru pukul 22.30 WIB.

�Usut punya usut, seminggu kemudian. Di Sukorejo, Haji Aziz akhirnya memperoleh info mengenai keributan yang hampir saja terjadi di antar pemilik delapan acara walimah tersebut karena masing-masing ngotot didatangi kiai pada saat yang bersamaan. Akhirnya, mereka sama-sama heran, sebab masing-masing mempunyai bukti berupa foto ketika kiai berada di rumah-rumah mereka,� imbuh KH Fawaid.

Peristiwa seperti itu tampaknya juga pernah dialami sendiri oleh KH As�ad ketika muda. Dia heran, ada kiai yang menjadi imam salat Jumat di tiga masjid dalam waktu yang bersamaan. Menurut kisah, KH As�ad bermakmum saat salat Jumat dengan imam Kiai Asadullah di Masjid Besuki. Bupati Situbondo, yang mendengar hal itu, membantah dan sambil ngotot mengatakan bahwa Kiai Asadullah hari itu mengimmi salat Jumat di Situbondo, bahkan sang bupati mengaku berdiri tepat di belakangnya. Penghulu Asembagus yang kebetulan mendengar pertikaian itu, malah menimpali bahwa Kiai Asadullah menjadi imam masjid di daerahnya.

Hal itu mengingatkan KH As�ad pada dawuh (perintah) Habib Hasan Musawa bahwa Kiai Asadullah telah mencapai maqam fana fi adz dzat, bisa menjadi tiga bahkan sepuluh dalam waktu bersamaan. Ilmu yang sama kelak akan dimiliki jiga oleh KH As�ad.

Kesaksian KH. As'ad Syamsul Arifin Tentang Berdirinya Nahdlatul Ulama`

KH As�ad Syamsul Arifin adalah pelaku sejarah berdirinya NU, beliaulah yang menjadi media penghubung dari KH. Kholil Bangkalan yang memberi isyarat agar KH. Hasyim Asyari mendirikan Jam�iyah Ulama yang akhirnya bernama Nahdlatul Ulama. Pidato ini awalnya berbahasa Madura dan berikut adalah translit selengkapnya.

Assalamu�alaikum Wr. Wb.

Yang akan saya sampaikan pada Anda tidak bersifat nasehat atau pengarahan, tapi saya mau bercerita kepada Anda semua. ANDA suka mendengarkan cerita? (Hadirin menjawab: Ya).

Kalau suka saya mau bercerita. Begini saudara-saudara. Tentunya yang hadir ini kebanyakan warga NU, ya? Ya? (Hadirin menjawab: Ya).

Kalau ada selain warga NU tidak apa-apa ikut mendengarkan. Cuma yang saya sampaikan ini tentang NU, Nahdlatul Ulama. Karena saya ini orang NU, tidak boleh berubah-ubah, sudah NU. Jadi saya mau bercerita kepada anda mengapa ada NU?

Tentunya muballigh-muballigh yang lain menceritakan isinya kitab. Kalau saya tidak. Sekarang saya ingin bercerita tentang kenapa ada NU di Indonesia, apa sebabnya? Tolong didengarkan ya, terutama para pengurus, Pengurus Cabang, MWC, Ranting, kenapa ada NU di Indonesia.

Begini, umat Islam di Indonesia ini mulai kira-kira 700 tahun dari sekarang, kurang lebih, para auliya', pelopor-pelopor Rasulullah Saw. ini yang masuk ke Indonesia membawa syariat Islam menurut aliran salah satu empat madzhab, yang empat. Jadi, ulama, para auliya', para pelopor Rasulullah Saw. masuk ke Indonesia pertama kali yang dibawa adalah Islam. Menurut orang sekarang Islam Ahlussunah wal Jama�ah, syariat Islam dari Rasulullah Saw. yang beraliran salah satu empat madzhab khususnya madzhab Syafi'i. Ini yang terbesar yang ada di Indonesia.

Madzhab-madzhab yang lain juga ada. Ini termasuk Islam Ahlussunah wal Jama�ah. Termasuk yang dibawa Walisongo, yang dibawa Sunan Ampel, termasuk Raden Asmoro ayahanda Sunan Ampel, termasuk Sunan Kalijogo, termasuk Sunan Gunung Jati. Semua ini adalah ulama-ulama pelopor yang masuk ke Indonesia, yang membawa syariat Islam Ahlussunah wal Jama�ah.

Kira-kira tahun 1920, waktu saya ada di Bangkalan (Madura), di pondok Kyai Kholil. Kira-kira tahun 1920, Kyai Muntaha Jengkebuan menantu Kyai Kholil, mengundang tamu para ulama dari seluruh Indonesia. Secara bersamaan tidak dengan berjanji datang bersama, sejumlah sekitar 66 ulama dari seluruh Indonesia.

Masing-masing ulama melaporkan: �Bagaimana Kyai Muntaha, tolong sampaikan kepada Kyai Kholil, saya tidak berani menyampaikannya. ini semua sudah berniat untuk sowan kepada Hadhratus Syaikh. Ini tidak ada yang berani kalau bukan Anda yang menyampaikannya.�

Kyai Muntaha berkata: �Apa keperluannya?�

�Begini, sekarang ini mulai ada kelompok-kelompok yang sangat tidak senang dengan ulama Salaf, tidak senang dengan kitab-kitab ulama Salaf. Yang diikuti hanya al-Quran dan Hadits saja. Yang lain tidak perlu diikuti. Bagaimana pendapat pelopor-pelopor Walisongo karena ini yang sudah berjalan di Indonesia. Sebab rupanya kelompok ini melalui kekuasaan pemerintah Jajahan, Hindia Belanda. Tolong disampaikan pada Kyai Kholil.�

Sebelum para tamu sampai ke kediaman Kyai Kholil dan masih berada di Jengkuban, Kyai Kholil menyuruh Kyai Nasib: �Nasib, ke sini! Bilang kepada Muntaha, di al-Quran sudah ada, sudah cukup:

(?????????? ??? ??????????? ????? ?????? ??????????????? ????????? ?????? ?????? ??? ??????? ??????? ?????? ?????? ????????????? ???

�Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahayaNya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai.� (QS. at-Taubat ayat 32)

Jadi kalau sudah dikehendaki oleh Allah Ta'ala, maka kehendakNya yang akan terjadi, tidak akan gagal. Bilang ya kepada Muntaha.�

Jadi para tamu belum sowan sudah dijawab oleh Kyai (Kholil). Ini karomah saudara, belum datang sudah dijawab keperluannya. Jadi para ulama tidak menyampaikan apa-apa, Cuma bersalaman. �Saya puas sekarang� kata Kyai Muntaha. Jadi saya belum sowan, sudah dijawab hajat saya ini.

Tahun 1921-1922 ada musyawarah di Kawatan (Surabaya) di rumah Kyai Mas Alwi. Ulama-ulama berkumpul sebanyak 46, bukan 66. Tapi hanya seluruh Jawa, bermusyawarah termasuk Abah saya (KH. Syamsul Arifin), termasuk Kyai Sidogiri, termasuk Kyai Hasan almarhum, Genggong, membahas masalah ini.

Seperti apa, seperti apa? Dari Barat Kyai Asnawi Qudus, Ulama-ulama Jombang semua, Kyai Thohir. para Kyai berkata: �Tidak ada jadinya, tidak ada kesimpulan.� Sampai tahun 1923, kata Kyai satu: �Mendirikan Jamiyah (organisasi)�, kata yang lain: �Syarikat Islam ini saja diperkuat.� Kata yang lain: �Organisasi yang sudah ada saja.�

Belum ada NU. (Sementara) yang lain sudah merajalela. Tabarruk-tabarruk sudah tidak boleh. Orang minta berkah ke Ampel sudah tidak boleh. Minta syafaat ke nenek moyang sudah tidak boleh. Ini sudah tidak dikehendaki. Sudah ditolak semua oleh kelompok-kelompok tadi. Seperti apa bawaan ini.

Kemudian ada satu ulama yang matur (menghadap) sama Kyai: �Kyai, saya menemukan satu sejarah tulisan Sunan Ampel. Beliau menulis seperti ini (Kyai As'ad berkata: �Kalau tidak salah ini kertas tebal. Saya masih kanak-kanak. Belum dewasa hanya mendengarkan saja�): �Waktu saya (Sunan Ampel Raden Rahmatullah) mengaji ke paman saya di Madinah, saya pernah pernah bermimpi bertemu Rasulullah, seraya berkata kepada saya (Raden Rahmat): �Islam Ahlussunah wal Jama�ah ini bawa hijrah ke Indonesia. Karena di tempat kelahirannya ini sudah tidak mampu melaksanakan Syariat Islam Ahlussunah wal Jama�ah. Bawa ke Indonesia.�

Jadi di Arab sudah tidak mampu melaksanakan syariat Islam Ahlussunah wal Jama�ah. Pada zaman Maulana Ahmad, belum ada istilah Wahabi, belum ada istilah apa-apa. Ulama-ulama Indonesia ditugasi melakukan wasiat ini.

Kesimpulannya mari Istikharah. Jadi ulama berempat ini melakukannya. Ada yang ke Sunan Ampel. Ada yang ke Sunan Giri. Dan ke sunan-sunan yang lain. Paling tidak 40 hari. Ada 4 orang yang ditugasi ke Madinah.

Akhirnya, tahun 1923 semua berkumpul, sama-sama melaporkan. Hasil laporan ini tidak tahu siapa yang memegang. Apa Kyai Wahab, apa Kyai Bisri. Insya Allah ada laporan lengkapnya. Dulu saya pernah minta sama Gus Abdurrahman dan Gus Yusuf supaya dicari.

Sesudah tidak menemukan kesimpulan, tahun 1924, Kyai (Kholil) memanggil saya. Ya saya ini. Saya tidak bercerita orang lain. Saya sendiri. Saya dipanggil: �As'ad, ke sini kamu!�

Asalnya saya ini mengaji di pagi hari, dimarahi oleh kyai, karena saya tidak bisa mengucapkan huruf Ra'. Saya ini pelat (cadal). �Arrahman Arrahim��

Kyai marah: �Bagaimana kamu membaca al-Quran kok seperti ini? Disengaja apa tidak?!�
�Saya tidak sengaja Kyai. Saya ini pelat.�
Kyai kemudian keluar (Kyai Kholil melakukan sesuatu). Kemudian esok harinya pelat saya ini hilang. Ini salah satu kekeramatan Kyai yang diberikan kepada saya.

Kedua, saya dipanggil lagi: �Mana yang cedal itu? Sudah sembuh cedalnya?�
�Sudah Kyai.�
�Ke sini. Besok kamu pergi ke Hasyim Asy�ari Jombang. Tahu rumahnya?�
�Tahu.�
�Kok tahu? Pernah mondok di sana?�
�Tidak. Pernah sowan.�
�Tongkat ini antarkan, berikan pada Hasyim. Ini tongkat kasihkan.�
�Ya, kyai.�
�Kamu punya uang?�
�Tidak punya, kyai.�
�Ini.�

Saya diberikan uang Ringgit, uang perak yang bulat. Saya letakkan di kantong. Tidak saya pakai. Sampai sekarang masih ada. Tidak beranak, tapi berbuah (berkah). Beranaknya tidak ada. Kalau buahnya banyak. Saya simpan. Ini berkah. Ini buahnya.

Setelah keesokan harinya saya mau berangkat, saya dipanggil lagi: �Ke sini kamu! Ada ongkosnya?�
�Ada kyai.�
�Tidak makan kamu? Tidak merokok kamu? Kamu kan suka merokok?�

Saya dikasih lagi 1 Ringgit bulat. Saya simpan lagi. Saya sudah punya 5 Rupiah. Uang ini tidak saya apa-apakan. Masih ada sampai sekarang. Kyai keluar: �Ini (tongkat) kasihkan ya, (Kyai Kholil membaca QS. Thaha ayat 17-21):

????? ?????? ??????????? ??? ?????? ???? ????? ???? ??????? ??????????? ????????? ????????? ????? ????? ??????? ?????? ?????? ??????? ??????? ???? ????? ????????? ??? ?????? ???? ???????????? ??????? ???? ??????? ??????? ???? ????? ??????? ????? ?????? ???????????? ?????????? ????????? ???

�Apakah itu yang di tangan kananmu hai Musa? Berkata Musa: �Ini adalah tongkatku, aku berpegangan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya.� Allah berfirman: �Lemparkanlah ia, hai Musa!� Lalu dilemparkannyalah tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat. Allah berfirman: �Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaannya semula.�

Karena saya ini namanya masih muda. Masih gagah. Sekarang saja sudah keriput. Gagah pakai tongkat dilihat terus sama orang-orang. Kata orang Arab Ampel: �Orang ini gila. Muda pegang tongkat.�

Ada yang lain bilang: �Ini wali.�

Wah macam-macam perkataan orang. Ada yang bilang gila, ada yang bilang wali. Saya tidak mau tahu, saya hanya disuruh Kyai. Wali atau tidak, gila atau tidak terserah kamu.
Saya terus berjalan. Saya terus diolok-olok, gila. Karena masih muda pakai tongkat. Jadi perkataan orang tidak bisa diikuti. Rusak semua, yang menghina terlalu parah. Yang memuji juga keterlaluan. Wali itu, kok tahu? Jadi ini ujian. Saya diuji oleh Kyai. Saya terus jalan.

Sampai di Tebuireng, (Kyai Hasyim bertanya): �Siapa ini?�
�Saya, Kyai.�
�Anak mana?�
�Dari Madura, Kyai.�
�Siapa namanya?�
�As'ad.�
�Anaknya siapa?�
�Anaknya Maimunah dan Syamsul Arifin.�
�Anaknya Maimunah kamu?�
�Ya, Kyai�
�Keponakanku kamu, Nak. Ada apa?�
�Begini Kyai, saya disuruh Kyai (Kholil) untuk mengantar tongkat.�
�Tongkat apa?�
�Ini, Kyai.�
�Sebentar, sebentar��

Ini orang yang sadar. Kyai ini pintar. Sadar, hadziq (cerdas). �Bagaimana ceritanya?�

Tongkat ini tidak langsung diambil. Tapi ditanya dulu mengapa saya diberi tongkat. Saya menyampaikan ayat:

????? ?????? ??????????? ??? ?????? ???? ????? ???? ??????? ??????????? ????????? ????????? ????? ????? ??????? ?????? ?????? ??????? ??????? ???? ????? ????????? ??? ?????? ???? ???????????? ??????? ???? ??????? ??????? ???? ????? ??????? ????? ?????? ???????????? ?????????? ????????? ???

�Apakah itu yang di tangan kananmu hai Musa? Berkata Musa: �Ini adalah tongkatku, aku berpegangan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya.� Allah berfirman: �Lemparkanlah ia, hai Musa!� Lalu dilemparkannyalah tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat. Allah berfirman: �Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaannya semula.�

"Alhamdulillah, Nak. Saya ingin mendirikan Jam�iyah Ulama. Saya teruskan kalau begini. Tongkat ini tongkat Nabi Musa yang diberikan Kyai Kholil kepada saya.�

Inilah rencana mendirikan Jam�iyah Ulama. Belum ada Nahdlatul Ulama. Apa katanya? Saya belum pernah mendengar kabar berdirinya Jam�iyah Ulama. Saya tidak mengerti.

Setelah itu saya mau pulang. �Mau pulang kamu?�

�Ya, Kyai.�
�Cukup uang sakunya?�
�Cukup, Kyai.�
�Saya cukup didoakan saja, Kyai.�
�Ya, mari. Haturkan sama Kyai, bahwa rencana saya untuk mendirikan Jam�iyah Ulama akan diteruskan.�

Inilah asalnya Jam�iyatul Ulama.

Tahun 1924 akhir, saya dipanggil lagi oleh Kyai Kholil: �As'ad, ke sini! Kamu tidak lupa rumahnya Hasyim?�
�Tidak, Kyai.�
�Hasyim Asy'ari?�
�Ya, Kyai.�
�Di mana rumahnya.�
�Tebuireng.�
�Dari mana asalnya?�
�Dari Keras (Jombang). Putranya Kyai Asy�ari Keras.�
�Ya, benar. Di mana Keras?�
�Di baratnya Seblak.�
�Ya, kok tahu kamu?�
�Ya, Kyai.�
�Ini tasbih antarkan.�
�Ya, Kyai.�

Kemudian diberi uang 1 Ringgit dan rokok. Saya kumpulkan. Semuanya menjadi 3 Ringgit dengan yang dulu. Tidak ada yang saya pakai. Saya ingin tahu buahnya.

Terus, pagi hari Kyai keluar dari Langgar: �Ke sini, makan dulu!�
�Tidak, Kyai. Sudah minum wedang dan jajan,�
�Dari mana kamu dapat?�
�Saya beli di jalan, Kyai�
�Jangan membeli di jalan! Jangan makan di jalan! Santri kok makan di jalan?�
�Ya, Kyai.�

Saya makan di jalan dimarahami. Santri kok menjual harga dirinya? Akhirnya saya ditanya: �Cukup itu?�
�Cukup, Kyai.�
�Tidak!�

Diberi lagi oleh Kyai. Dikasih lagi 1 Ringgit. Saya simpan lagi. Kemudian tasbih itu dipegang ujungnya: �Ya Jabbar, Ya Jabbar, Ya Jabbar. Ya Qahhar, Ya Qahhar, Ya Qahhar.� Jadi Ya Jabbar 1 kali putaran tasbih. Ya Qahhar 1 kali putaran tasbih. Saya disuruh dzikir.

�Ini.�

Disuruh ambil. Saya tengadahkan leher saya. �Kok leher?�
�Ya, Kyai. Tolong diletakkan di leher saya supaya tidak terjatuh.�
�Ya, kalau begitu.�

Jadi saya berkalung tasbih. Masih muda berkalung tasbih. Saya berjalan lagi, bertemu kembali dengan yang membicarakan saya dulu: �Ini orang yang megang tongkat itu? Wah.. Hadza majnun.� Ada yang bilang "wali", ya seperti tadi. Jadi saya tidak menjawab. Saya tidak bicara kalau belum bertemu Kyai. Saya berpuasa. Saya tidak bicara, tidak makan, tidak merokok, karena amanatnya Kyai. Saya tidak berani berbuat apa-apa. Sebagaimana kepada Rasulullah, ini kepada guru. Saya tidak berani. Saya berpuasa. Saya tidak makan, tidak minum tidak merokok. Tidak terpakai uang saya.

Ada yang narik: �Karcis! karcis!�

Saya tidak ditanya. Saya pikir ini karena tasbih dan tongkat. Saya pura-pura tidur karena tidak punya karcis. Jadi selama perjalanan 2 kali saya tidak pernah membeli karcis. Mungkin karena tidak melihat saya. Ini sudah jelas keramatnya Kyai. Jadi Auliya' itu punya karomah. Saya semakin yakin dengan karomah. Saya semakin yakin.

Saya lalu sampai di Tebuireng, Kyai (Hasyim) tanya: �Apa itu?�
�Saya mengantarkan tasbih.�
�Masya Allah, Masya Allah. Saya diperhatikan betul oleh guru saya. Mana tasbihnya?�
�Ini, Kyai.� (dengan menjulurkan leher).
�Lho?�
�Ini, Kyai. Tasbih ini dikalungkan oleh Kyai ke leher saya, sampai sekarang saya tidak memegangnya. Saya takut su'ul adab (tidak sopan) kepada guru. Sebab tasbih ini untuk Anda. Saya tidak akan berbuat apa-apa terhadap barang milik Anda.�

Kemudian diambil oleh Kyai: �Apa kata Kyai?�
�Ya Jabbar, Ya Jabbar, Ya Jabbar. Ya Qahhar, Ya Qahhar, Ya Qahhar.�
�Siapa yang berani pada NU akan hancur. Siapa yang berani pada ulama akan hancur.� Ini dawuhnya.

Pada tahun 1925, Kyai Kholil wafat tanggal 29 Ramadhan. Banyak orang berserakan. Akhirnya pada tahun 1926 bulan Rajab diresmikan Jam�iyatul Ulama. Ini sudah dibuat, organisasi sudah disusun. Termasuk yang menyusun adalah Kyai Dahlan dari Nganjuk, yang membuat anggaran dasar. Kemudian para ulama sidang lagi untuk mengutus kepada Gubernur Jenderal. Ya, seperti itulah yang dapat saya ceritakan.

Wafatnya Kiai As�ad

�Saya ingin mati mempertahankan dan menegakkan negara,� papar Kiai As�ad pada suatu hari di hadapan Pangdam V/Brawijaya, Mayjen R. Hartono, Kapolda Jatim Mayjen Pol. Drs. Koes Poernomo Ikhsan, dan Asisten Kejati. Ungkapan spontan ini mengejutkan anak-anaknya dan para santri, karena sebelumnya Kiai As�ad tidak pernah menyinggung soal kematian. Pangdam sendiri tampak haru.
Setahun sebelum wafat, Kiai As�ad menyerahakan urusan pesantren kepada putranya, KH. Ahmad Fawaid As�ad. Lima tahun sebelumnya, Kiai As�ad mencantumkan Kiai Ahmad Fawaid sebagai wakil ketua pengasuh pondok. Begitu pula isyarat kepergian itu disampaikan kepada Kiai Ali Yafie dan dr. Fahmi D. Zainuddin Zuhri, utusan PBNU, sebelas hari sebelum wafatnya. �Ini mumpung sampean datang ke sini, kalau saya yang lebih dulu dipanggil Tuhan, saya titip Ma�had Aly, tolong di-openi,� pesannya kepada kedua orang itu. Bahkan terang-terangan setahun sebelum wafat, beliau pernah berbicara kepada wartawan. Kata beliau, �Setahun belakangan, saya siap-siap, karena sudah melihat malaikat maut.�

Ketika jatuh sakit, beliau masih memikirkan pendidikan (merintis berdirinya Ma�had Aly) dan perkembangan NU (dengan mengutus santri Ma�had Aly mengadakan bahtsul masail yang membahas tentang BPR NU).

Pada Sabtu, 13 Muharram 1411 H atau 4 Agustus 1990, pukul 07.25 WIB, KH. R. As�ad Syamsul Arifin pulang ke rahmatullah dengan memancarkan bau harum semerbak. Kiai yang sederhana itu pergi dengan kesederhanaannya.

Wallahu a�lam.

Oleh: NU Garis Lurus

Tidak ada komentar:
Write komentar

Recommended Posts × +