JAKARTA-BG : Terpilih menjadi presiden dan baru akan resmi dilantik pada 20 Oktober untuk bisanya menjalankan roda pemerintahan, Joko Widodo atau Jokowi sudah harus dihadapkan pada persoalan kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM).
Ujian pertama di bidang ekonomi guna menekan defisit APBN ini mau tak mau harus dihadapi oleh capres Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini. Padahal, sebagai presiden pilihan rakyat, Jokowi tentunya harus tetap berpihak kepada rakyat, karena jika kebijakan yang diambil Jokowi hanya menguntungkan golongan tertentu, dikhawatirkan akan terjadi gejolak di masyarakat.
Dilema yang muncul, disatu sisi setiap presiden memang seharusnya memperhatikan kepentingan rakyat, tapi di lain sisi juga seorang presiden memang harus menyelamatkan keuangan negara, supaya tidak menambah lebih banyak hutang yang akan membebani pemerintah mendatang.
ini tentu pilihan sulit yang dihadapi Jokowi. Sebab dengan menaikkan harga BBM, biarpun sedikit kebijkan ini tentu dianggap tidak populis dimata masyarakat yang kadung percaya padanya.
Ironisnya, partai yang membesarkan Jokowi, PDI Perjuangan, selalu memberikan penolakan keras saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan menaikkan harga BBM. Ini artinya, pemerintah yang akan datang adalah dipimpin oleh presiden dari partai yang dulu getol menentang kenaikan harga BBM. Tentu ini akan menjadi beban moral bagi presiden Jokowi kelak yang akan menaikkan harga BBM.
Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro menyatakan bahwa menaikkan harga BBM merupakan pilihan sulit yang dihadapi Jokowi. "Kita harus putar video saat PDI-P menolak kenaikan harga BBM. Sama dengan menjilat ludah sendiri, dan masyarakat akan menganggap partai politik tak konsisten," pungkasnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN), Dradjad Wibowo, menyarankan Joko Widodo berhati-hati dalam mengambil kebijakan untuk mengurangi subsidi BBM. "Kenaikan harga BBM jadi ujian pertama di bidang ekonomi untuk Jokowi," kata Dradjad, di Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (23/8) lalu.
Selain harga BBM, kata Dradjad, neraca transaksi nasional juga sedang dihadapkan dengan defisit yang semakin meningkat. Jokowi ia anggap harus berani mengambil kebijakan tak populer agar anggaran negara tak terus terbebani, salah satunya dengan cara mengurangi subsidi BBM.
Dalam posisi ini, ujian akan kembali datang karena kebijakan yang diambil Jokowi harus tetap berpihak pada rakyat meski tak populer. Ia khawatir akan ada gejolak jika kebijakan yang diambil Jokowi hanya menguntungkan golongan tertentu. "Kita lihat nanti, kebijakan Jokowi hanya berpihak pada rakyat, atau hanya untuk kaum kapitalis. Karena ujian ini tidak muncul saat Jokowi berkampanye," ujarnya.@ Hasan
Tidak ada komentar:
Write komentar